Sumber gambar : metro.co.uk |
Oleh : Panji Purnama
Di era yang makin modern seperti
sekarang ini umumnya seseorang menggunaan media sosial. Generasi
milennial hingga generasi sebelum nya sudah mulai terlibat aktif dalam
partisipasi media sosial. Orang yang lahir pada 1960 an sudah mempelajari
penggunaan WhatsApp. Itu menunjukan bahwa terjadi adanya pergeseran perilaku ‘melek
teknologi’. Makanya tak heran jika penggunaan media sosial kian bertambah
banyak. Tahun 2006
muncul Twitter yang menghiasi jaga 'internet di Indonesia'.
Sebelum boomingnya media sosial mungkin istilah buzzer belum muncul. Tetapi dewasa ini, peran buzzer begitu
krusial dalam merajut cara pandang seseorang atau dalam jagat media sosial
disebut nitizen. Buzzer
(dikendalikan kelompok tertentu) ini memiliki tugas untuk menyebarkan
informasi-informasi, memberikan pengaruh atau mempengaruhi, menarik perhatian
dan menggiring opini publik.
Di negara demokratis seperti
Indonesia, nampaknya buzzer terus menjamur sehingga menjadi kebutuhan para
elite politik. Adanya kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum bukan saja
ditafsirkan dengan berbicara langsung di depan istana atau lembaga negara yang
lain. Akan tetapi, kebebasan tersebut dilakukan pula di media sosial. Yang luar
biasa, itu berjalan begitu efektifnya.
Sedangkan legalitas mengenai kebebasan
berpendapat sudah jangan ditanyakan lagi. Diatur oleh konstitusi kita
(Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat (3)).
Akan tetapi perlu dipahami bahwa
kebebasan berpendapat ini bukan tidak mengenal batasan-batasan. Harus juga
sesuai dengan rel undang-undang yang berlaku. Kemudian, perlu pula melihat
etika dan norma dalam menyampaikan pendapat itu sendiri.
Pemerintah melalui Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjamin kebebasan di dunia maya.
Keseriusan itu dituangkan dalam peraturan UU No. 36 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun
2008 dan UU No. 14 Tahun 2008 mengenai komunikasi dan keterbukaan informasi
publik.
Nampak jelas bahwa kebebasan
berpendapat bukan saja dilakukan dengan unjuk rasa langsung. Tetapi, ada
perubahan yang terjadi semenjak media sosial, katakanlah twitter menjadi idola.
Cuitan-cuitan para aktor politik atau masyarakat biasa kemudia bisa menjadi
viral dan tanpa sekatan wilayah. Semua orang bisa dengan mudah membaca dan
melihat perkembangannya telepas benar atau salah nya cuitan yang beredar.
Makanya kemudian tidak bisa dihindar
juga bahwa hoax bisa menghantui penggunanya. Tersesat akan kebenaran konten
yang disebarkan tentu dengan tujuannya masing-masing.
Efektivitas penggunaan media sosial
untuk mempengaruhi halayak luas atau public. Dimanfaatkan betul oleh
pelaku-pelaku politik dalam melancarkan misinya untuk memenangi konpentisi
dengan cara membuat konten yang mengangkat nilai baik dari calon atau bahkan
propaganda.
Kebebasan
Berpendapat dengan Media Sosial di Negara Hukum (rechsstaat)
Masyarakat di dalam negara hukum mesti
tahu konsekuensi jika tak taat pada hukum. Selain hak-hak sebagai masyarakat
kita yang dijaga oleh konstitusi. Kita juga
perlu menghormati konstitusi itu sendiri.
Tahun 1998 pada masa Presiden
Soeharto, masyarakat dan mahasiswa turun kejalan untuk menyuarakan aspirasinya
kepada pemerintah karena dianggap otoriter. Kebebasan menyampaikan pendapat
saat itu mungkin belum begitu dijamin oleh pemerintah. Kemudian pada tahun yang
sama, media sosial belum muncul. Sehingga peran kebebasan berpendapat tidak
bekeliaran dijagat maya. Lain hal ketika 2009 twitter menjadi idola. Kritikan
kepada pemerintah mungkin sudah mulai muncul dan itu
tidak harus datang ke Istana Presiden. Cukup dari smartphone.
Lalu muncul sosok Bapak Demokrasi,
yaitu Presiden ke-3 BJ Habibie. Pada masa pemerintahannya, BJ Habibie
memberikan angin segar terhadap kebebasan pendapat. Pers dalam menjalankan
tugas sebagai penyambung lidah masyarakat pun memiliki ‘Kebebasan Pers’.
Bayangkan saja sebelumnya pers begitu banyak mendapat tekanan dari pemerintah
soal kritik. Hingga sampai saat ini,
kebebasan berpendapat adalah hak setiap warga negara termasuk pers di lindungi oleh negara.
Kebebasan berpendapat di media sosial
jika tidak dikontrol dengan regulasi akan kacau. Karena nya pemerintah membuat Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tidak sedikit menganggap UU ITE pasal 27 ayat 3 adalah ‘pasal
karet’. Jika kita tidak tahu batasan menggunakan media sosial dalam mengkritik
pemerintah, akan senasib dengan pegiat media sosial lainnya (dipenjara).
Padahal niat dan maksud kita baik, yakni mengkritik kinerja pemerintah.
Menghalau Hoax Buzzer
Berita bohong atau hoax agaknya
tidak mungkin hilang secara tuntas. Jagat dunia maya mengalami perubahan yang
dinamis. Para buzzer juga pasti memiliki kepentingan sehingga sering kali
dengan cara membuat berita atau konten dengan muatan hoax. Mungkin, kita
bisa mensiasatinya supaya tidak termakan oleh berita bohong, baik yang
disebarkan oleh para buzzer ataupun influencer. Dengan tidak menerima begitu
saja informasi yang didapat, akan tetapi melihat kebenaran berita dengan
konfirmasi.
Gerakan stop hoax sering pula
didengungkan mengingat bahayanya konten hoax yang dibuat oleh orang-orang yang
tidak bertanggungjawab termasuk buzzer bayaran. Kelompok buzzer yang biasanya
terdiri dari beberapa orang, mampu mendengungkan berita hoax, narasi yang
mengundang rasa iba sehingga mempengaruhi psikologi pembacanya. Saya ambil
contoh pada kelompok buzzer politik yang membuat pihaknya seolah-olah menjadi
korban sehingga muncul rasa iba publik kepada sosok politikus tersebut. Dengan
era industri 4.0 kita dituntut agar selalu hati-hati dalam menyebarkan berita
yang diperoleh. Jangan sampai berita yang kita teruskan malah menjadi boomerang
bagi kita.
0 Komentar