Pasal 27 Ayat (3) UU ITE : Membungkam atau Netizen Tak Paham?


 
Sumber gambar : newbostonpost.com



       Kebebasan Berpendapat merupakan hak setiap warga negara Indonesia, di zaman modern ini dapat dilihat bahwa hampir setiap hari “Netizen” mengupdate status di media sosial atau menuliskan buah pemikirannya melalui sarana-sarana informasi yang tersedia. Hak atas kebebasan berpendapat merupakan salah satu instrumen Internasional yang terdapat dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), yang menyatakan bahwa “Semua orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).” Kemudian dalam UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) pada pokok-pokok isi kovenan dalam Pasal 19 disebutkan “hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat.” Apabila berbicara mengenai hak berpendapat dalam konstitusi Republik Indonesia telah ditagaskan dalam UUD 1945 pada Pasal 28E ayat (3) yang menyebutkan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”

      Perkembangan Teknologi Informasi yang begitu pesat banyak mengubah pola hidup dalam bermasyarakat, perubahan istilah pengguna internet juga selalu mengalami perubahan dimulai dari warga net hingga kini dikenal dengan istilah netizen, yaitu citizen atau masyarakat yang beraktivitas secara aktif di dunia maya. di zaman modern ini apa saja bisa terjadi, perubahan pola hidup yang dahulunya dirasa aman-aman saja untuk dilakukan saat ini dapat berubah menjadi ancaman yang berujung pada penyesalan, apabila melihat ketentuan yang mengatur hak kebebasan berpendapat di atas, rasanya kebebasan berpendapat itu telah diletigimasi dengan begitu luas, sehingga Netizen sering menuliskan hal-hal yang dapat mengekspresikan diri atau emosi nya untuk dilihat khalayak ramai, entah itu untuk mendapat kepuasan tersendiri atau untuk iseng-iseng saja.

      Berdasarkan  konteks hukum nasional kebebasan berpendapat itu dibatasi secara nyata dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 310-321 KUHP yang merupakan batasan-batasan yang sudah ada sebelum lahirnya Rezim Teknologi informasi berbasis Internet. Kemudian seiring perkembangan hukum dan masyarakat lahir UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi elektronik yang mengakomodir perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan dalam Dunia Maya (cyberspace), dalam implementasinya UU ini sering menimbulkan permasalahan-permasalahan diantaranya : Pada tahun 2009, terdakwa Prita Mulyasari, kisahnya bermula ketika mengeluhkan lewat e-mail terkait perawatan yang diberikan rumah sakit Omni Internasional. Akhirnya ia dipenjara setelah kalah dalam gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, Prita dijerat Pasal 27 ayat (3) Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. prita merupakan orang pertama yang dijerat Pasal 27 Ayat (3) UU ITE ini, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Pengertian penghinaan/pencemaran nama baik tidak dijelaskan dalam  undang-undang ini, dan bila dicermati unsur perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik juga tidak dijelaskan, oleh sebab itu dalam penafsirannya Pasal 27 ayat (3) harus merujuk pada KUHP sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, bila merujuk dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, namun yang menjadi permasalahan adalah Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak secara pasti menyebutkan perbuatan apa yang diklasifikasikan sebagai penghinaan, juga berpotensi mengakibatkan diskriminasi terhadap para tersangka, bagi aparat penegak hukum juga dapat memilih dua undang-undang yang dapat diterapkan secara subjektif, apakah menggunakan KUHP atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang ancaman hukumannya lebih berat.

Berdasarkan kasus Prita, Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008  ini pernah diuji kembali ke Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan No.2/PUU-VII/2009 Mahkamah berpendapat, dalam Putusan No. 14/PUU-VI/2008 mahkamah berpendirian bahwa nama baik, martabat atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin oleh UUD 1945 maupun hukum internasional, karenanya apabila hukum pidana memberikan sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini merupakan kebutuhan untuk memberikan proteksi atau perlindungan hukum (rechtsbescherming) bagi masyarakat, khususnya Netizen dari potensi kejahatan siber berupa pencemaran nama baik di dunia maya (cyberspace). Namun pada pelaksanaannya juga belum dapat dilihat sejauh mana makna penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE, penjelasan dalam Pasal 27 ayat (3) hanya menyebutkan ketentuan pasal tersebut mengacu pada ketentuan dalam KUHP, tapi tidak memberikan batasan-batasan sejauh mana pencemaran nama baik dan penghinaan itu di dalam KUHP, mengingat penghinaan dan pencemaran nama baik dimuat dalam Pasal 310-321 KUHP. Hal ini yang kemudian menjadikan Pasal 27 ayat (3) ini disebut sebagai Pasal Karet, karena tidak memiliki tolak ukur yang jelas sehingga sering menimbulkan multitafsir. Putusan MK ini juga menjadi alasan pertimbangan perubahan UU ITE yang baru yaitu UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, jika melihat perubahannya, pada Pasal 27 ayat (3) hanya mengubah bagian penjelasan dan ancaman pidananya yang diperingan, jika awalnya pidana penjara maksimal 6 tahun menjadi 4 tahun dan pidana denda yang awalnya maksimal Rp1 miliar menjadi Rp750 Juta, implikasinya adalah terhadap tersangka atau terdakwa tidak harus ditahan hal ini sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP. dari ancaman pidana terhadap Pasal 27 hanya Pasal 27 ayat (3) yang diperingan, Namun untuk penegasan bentuk penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut masih belum memiliki tolak ukur yang jelas. Jika dicermati penghinaan dalam KUHP tentu beragam, ada penghinaan ringan yang ancamannya ringan Pasal 310 KUHP memidana maksimal 1 tahun 4 bulan sedangkan Pasal 311 memidana maksimal 4 tahun, lalu terhadap perbuatan yang bagaimana Pasal 27 Ayat (3) ini diterapkan? Yang jelas perbuatan itu dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, muatan penghinaan/pencemaran nama baik ini yang kemudian menjadi multitafsir, penulis menyimpulkan bahwa setiap unsur perbuatan dalam Pasal 310-321 KUHP disama ratakan, atau diberlakukan sama terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE apabila memenuhi unsur sebagaimana UU ITE sebutkan, nasib terdakwa tergantung kepada hakim sebagai parameter terakhir penerapan ketentuan pidana dalam menimbang fakta-fakta hukum dengan menyesuaikan dengan unsur-unsur dakwaan.

Berdasarkan hal tersebut, apakah Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini suatu produk yang membungkam kebebasan berpendapat? tentu tiap orang memiliki pendapat berbeda, penulis berpendapat Pasal 27 ayat (3) ini tidak membungkam kebebasan berpendapat, namun menjadi rambu-rambu hukum bagi tiap orang yang akan berpendapat agar mengkaji ulang apa yang hendak ia utarakan, Netizen harus cerdas dalam berkomentar dan menyerukan pendapat baik di muka umum secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, karena Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut tidak hanya menjerat Prita Mulyasari akan tetapi banyak lagi kasus setelahnya, kasus demi kasus harus menjadi pelajaran bagi setiap orang yang berpendapat di wilayah Hukum Republik Indonesia, regulasi yang ada selalu mengawasi dan siap menjerat kapanpun, dan harapan terhadap pemerintah agar mensosialisasikan UU ITE ini secara berkesinambungan.



Sumber :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
  4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
  6. Putusan Mahkamah Konstitusi  No.2/PUU-VII/2009


Posting Komentar

0 Komentar