Sumber gambar : newbostonpost.com |
Kebebasan Berpendapat merupakan hak setiap warga negara Indonesia, di zaman modern ini dapat dilihat bahwa hampir setiap hari “Netizen” mengupdate status di media sosial atau menuliskan buah pemikirannya melalui sarana-sarana informasi yang tersedia. Hak atas kebebasan berpendapat merupakan salah satu instrumen Internasional yang terdapat dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), yang menyatakan bahwa “Semua orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).” Kemudian dalam UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) pada pokok-pokok isi kovenan dalam Pasal 19 disebutkan “hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat.” Apabila berbicara mengenai hak berpendapat dalam konstitusi Republik Indonesia telah ditagaskan dalam UUD 1945 pada Pasal 28E ayat (3) yang menyebutkan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Perkembangan Teknologi Informasi yang
begitu pesat banyak mengubah pola hidup dalam bermasyarakat, perubahan istilah
pengguna internet juga selalu mengalami perubahan dimulai dari warga net hingga
kini dikenal dengan istilah netizen, yaitu citizen atau masyarakat yang
beraktivitas secara aktif di dunia maya. di zaman modern ini apa saja bisa
terjadi, perubahan pola hidup yang dahulunya dirasa aman-aman saja untuk
dilakukan saat ini dapat berubah menjadi ancaman yang berujung pada penyesalan,
apabila melihat ketentuan yang mengatur hak kebebasan berpendapat di atas,
rasanya kebebasan berpendapat itu telah diletigimasi dengan begitu luas,
sehingga Netizen sering menuliskan hal-hal yang dapat mengekspresikan diri atau
emosi nya untuk dilihat khalayak ramai, entah itu untuk mendapat kepuasan
tersendiri atau untuk iseng-iseng saja.
Berdasarkan konteks hukum nasional kebebasan berpendapat
itu dibatasi secara nyata dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 310-321 KUHP yang
merupakan batasan-batasan yang sudah ada sebelum lahirnya Rezim Teknologi
informasi berbasis Internet. Kemudian seiring perkembangan hukum dan masyarakat
lahir UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi elektronik yang
mengakomodir perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan dalam Dunia Maya (cyberspace), dalam implementasinya UU
ini sering menimbulkan permasalahan-permasalahan diantaranya : Pada tahun 2009,
terdakwa Prita Mulyasari, kisahnya bermula ketika mengeluhkan lewat e-mail terkait perawatan yang diberikan
rumah sakit Omni Internasional. Akhirnya ia dipenjara setelah kalah dalam
gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, Prita
dijerat Pasal 27 ayat (3) Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. prita merupakan orang pertama yang dijerat Pasal 27 Ayat
(3) UU ITE ini, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa, “Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Pengertian
penghinaan/pencemaran nama baik tidak dijelaskan dalam undang-undang ini, dan bila dicermati unsur
perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik juga tidak dijelaskan, oleh sebab itu
dalam penafsirannya Pasal 27 ayat (3) harus merujuk pada KUHP sebagaimana dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, bila merujuk
dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal
yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, namun yang menjadi
permasalahan adalah Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak secara pasti menyebutkan
perbuatan apa yang diklasifikasikan sebagai penghinaan, juga berpotensi
mengakibatkan diskriminasi terhadap para tersangka, bagi aparat penegak hukum
juga dapat memilih dua undang-undang yang dapat diterapkan secara subjektif,
apakah menggunakan KUHP atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang ancaman hukumannya
lebih berat.
Berdasarkan kasus
Prita, Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 ini pernah diuji kembali ke Mahkamah Konstitusi,
dalam Putusan No.2/PUU-VII/2009 Mahkamah berpendapat, dalam Putusan No.
14/PUU-VI/2008 mahkamah berpendirian bahwa nama baik, martabat atau kehormatan
seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana
karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin oleh
UUD 1945 maupun hukum internasional, karenanya apabila hukum pidana memberikan
sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat,
atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah
juga berpendapat bahwa keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini merupakan
kebutuhan untuk memberikan proteksi atau perlindungan hukum (rechtsbescherming) bagi masyarakat,
khususnya Netizen dari potensi kejahatan siber berupa pencemaran nama baik di dunia
maya (cyberspace). Namun pada
pelaksanaannya juga belum dapat dilihat sejauh mana makna penghinaan dan pencemaran
nama baik dalam UU ITE, penjelasan dalam Pasal 27 ayat (3) hanya menyebutkan
ketentuan pasal tersebut mengacu pada ketentuan dalam KUHP, tapi tidak
memberikan batasan-batasan sejauh mana pencemaran nama baik dan penghinaan itu
di dalam KUHP, mengingat penghinaan dan pencemaran nama baik dimuat dalam Pasal
310-321 KUHP. Hal ini yang kemudian menjadikan Pasal 27 ayat (3) ini disebut
sebagai Pasal Karet, karena tidak memiliki tolak ukur yang jelas sehingga
sering menimbulkan multitafsir. Putusan MK ini juga menjadi alasan pertimbangan
perubahan UU ITE yang baru yaitu UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU
No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, jika melihat
perubahannya, pada Pasal 27 ayat (3) hanya mengubah bagian penjelasan dan
ancaman pidananya yang diperingan, jika awalnya pidana penjara maksimal 6 tahun
menjadi 4 tahun dan pidana denda yang awalnya maksimal Rp1 miliar menjadi Rp750
Juta, implikasinya adalah terhadap tersangka atau terdakwa tidak harus ditahan
hal ini sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP. dari ancaman pidana terhadap
Pasal 27 hanya Pasal 27 ayat (3) yang diperingan, Namun untuk penegasan bentuk
penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut masih belum memiliki tolak ukur
yang jelas. Jika dicermati penghinaan dalam KUHP tentu beragam, ada penghinaan ringan
yang ancamannya ringan Pasal 310 KUHP memidana maksimal 1 tahun 4 bulan
sedangkan Pasal 311 memidana maksimal 4 tahun, lalu terhadap perbuatan yang
bagaimana Pasal 27 Ayat (3) ini diterapkan? Yang jelas perbuatan itu dilakukan
dengan sengaja dan tanpa hak, muatan penghinaan/pencemaran nama baik ini yang
kemudian menjadi multitafsir, penulis menyimpulkan bahwa setiap unsur perbuatan
dalam Pasal 310-321 KUHP disama ratakan, atau diberlakukan sama terhadap Pasal
27 ayat (3) UU ITE apabila memenuhi unsur sebagaimana UU ITE sebutkan, nasib
terdakwa tergantung kepada hakim sebagai parameter terakhir penerapan ketentuan
pidana dalam menimbang fakta-fakta hukum dengan menyesuaikan dengan unsur-unsur
dakwaan.
Berdasarkan hal
tersebut, apakah Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini suatu produk yang membungkam
kebebasan berpendapat? tentu tiap orang memiliki pendapat berbeda, penulis
berpendapat Pasal 27 ayat (3) ini tidak membungkam kebebasan berpendapat, namun
menjadi rambu-rambu hukum bagi tiap orang yang akan berpendapat agar mengkaji
ulang apa yang hendak ia utarakan, Netizen harus cerdas dalam berkomentar dan
menyerukan pendapat baik di muka umum secara terang-terangan maupun secara
sembunyi-sembunyi, karena Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut tidak hanya
menjerat Prita Mulyasari akan tetapi banyak lagi kasus setelahnya, kasus demi
kasus harus menjadi pelajaran bagi setiap orang yang berpendapat di wilayah
Hukum Republik Indonesia, regulasi yang ada selalu mengawasi dan siap menjerat
kapanpun, dan harapan terhadap pemerintah agar mensosialisasikan UU ITE ini
secara berkesinambungan.
Sumber :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
- Putusan Mahkamah Konstitusi No.2/PUU-VII/2009
0 Komentar