Sumber gambar : tvone |
Fenomena penegakan hukum ugal-galan Polri dalam mengungkap kebenaran Kasus Brigadir J memang sangat memalukan, Institusi Sipil Bersenjata ini semakin menunjukkan bahwa mereka memiliki kewenangan dan senjata yang siap mereka gunakan sesuai apa yang secara internal mereka temukan, kejanggalan yang dibeberkan ke awak media dan disaksikan seluruh masyarakat menjadi polemik yang memilukan, karena tidak sesuai dengan hasil penyelidikan dan penyidikan Polri dan tidak mencerminkan kebenaran justru cenderung sebagai pembenaran.
Kasus yang masih bergulir ini tidak kunjung memberikan titik terang dari kasus ini, masyarakat kebingungan melihat kinerja Polri yang semakin kesini semakin kelihatan tidak presisi dalam menumpas kejahatan dan menegakkan keadilan yang dicita-citakan. Fenomena yang terjadi ini pun menjadi panggung buat orang-orang tertentu, opini yang berserakan di media-media seolah-olah membuka secara perlahan takbir yang tertutup namun justru malah mengambangkan topik yang mulai terfokus.
Komjen (Purn) Susno Duadji misalkan, mantan narapidana Korupsi atau koruptor ini mulai mencari panggung dengan memberikan opini yang baik dan tegas berkaitan dengan kasus Pembunuhan Brigadir J, saat ini Susno tampil dengan badan dan wajah yang lebih segar dibandingkan saat muncul dari persembunyiaan saat kasusnya Tahun 2013 silam, nama Susno Duadji memang terkenal di kalangan orang-orang yang menaru perhatian pada proses penegakan hukum di Indonesia.
Mantan kepala badan reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal (purn) Susno Duadji merupakan terpidana kasus korupsi berdasarkan putusan Pengadilan Jakarta Selatan yang menyatakan Susno bersalah dalam dua kasus, yaitu Penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari senilai Rp 500 Miliar dan kasus dana pengamanan Pilkada Jabar 2008 senilai Rp. 8 Miliar saat menjabat sebagai Kapolda Jabar.
Susno sudah tiga kali tidak memenuhi panggilan eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, alasannya tidak dapat dieksekusi dengan berbagai alasan, pertama penolakan eksekusi itu adalah ketiadaan pencantuman perintah penahanan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung No. 899 K/PID.SUS/2012 tertanggal 22 November 2012, dia berkilah Mahkamah Agung hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dan memebankan biaya perkara. Alasan kedua adalah penilaian bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta cacat hukum, penilaian itu merujuk pada kesalahan penulisan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Dalam amar putusan banding, dengan kedua alasan ini, Susno menganggap kasusnya telah selesai dan ngotot menolak eksekusi.
Akibat penilaian yang keliru dan terkesan tidak paham hukum ini, Saat akan dieksekusi (dijemput) oleh Tim Jaksa Eksekutor Kejakaan Negeri Jakarta Selatan dari rumahnya di Resor Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat, Susno meminta perlindungan kepada Kepolisian, dia tampak dikawal sejumlah mobil Patrol dan 60 petugas Direktorat Sabhara Polda Jawa Barat. Tindakan ini didukung oleh Kapolda Jawa Barat saat itu Inspektur Tb Anis Angkawijaya, setelah bernegosiasi sejak pagi, sorenya Susno berangkat dari rumahnya menuju Polda Jawa Barat dan berlindung di ruangan kerja Kapolda Jawa Barat, penjagaan ketat saat mempersulit Jaksa untuk melakukan eksekusi.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Susno dan memperkuat Putusan Pengadilan Jakarta Selatan sebenarnya sudah jelas, bahwa putusan Mahkamah Agung seyogyanya memperkuat dan memperjelas putusan yang harus dilaksanakan, hal ini sesuai dengan pasal 270 KUHP dimana putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Jaksa sebagai eksekutor harus melaksanakan.
GAGALNYA TIM GABUNGAN KEJAKSAAN MELAKUKAN EKSEKUSI TERHADAP TERPIDANA KORUPSI KOMBES (PURN) SUSNO DUADJI
Gagalnya eksekusi ini memberikan citra buruk bagi Institusi Kepolisian, karena keterlibatan Polda Jawa Barat yang melindungi Susno dari eksekusi yang sudah jelas diperintahkan Putusan yang telah “in kracht”
Argumentasi Hukum yang digunakan pihak Susno adalah ketentuan pasal 197 Ayat (1) huruf k Undang- Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana , ketentuan pasal itu memuat perintah agar tetap dalam tahanan, atau dibebaskan. Pihak Susno Menafsirkan sesuai dengan Pasal 197 Ayat (2) putusan batal demi hukum jika tak memuat perintah eksekusi. Sementara itu pasal 197 Ayat (1) ini pernah diuji materi di Mahkamah konstitusi, Pemohon oleh Parlin Riduansyah, saat itu Yusril mahendra bertindak sebagai kuasa hukumnya, dalam putusan yang dibacakan pada 22 November 2012, MK Berbendapat bahwa dalam penjelasan KUHP disebutkan, apabila terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan pidana seperti diatur pasal 197, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Sungguh sangat ironis bahwa terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidam dapat dieksekusi hanya karena tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat jika berkaranya berdampak tidak meluas seperti penghinaan, mungkin tidak terlalu merugikan kepentingan umum jika putusan dinyatakan batal demi hukum, namun jika perkaranya berdampak sangat luas seperti korupsi, tetapi harus batal demi hukum, maka putusan akan sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Argumentasi beberapa ahli seperti Ketua MK, Akil Mochtar, menanggapi Pro Kontra soal tafsir pasal 197 KUHAP itu, Akil Mochtar mengatakan , tidak dicantumkannya Pasal 197 Ayat (1) dalam amar putusan Susno tidak serta merta akan membatalkan proses eksekusi terhadapnya, jika ditafsirkan demikian, menurutnya, maka seluruh terpidana dalam kasus hukum akan minta dikeluarkan dari penjara.”
Sementara menurut mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, kejaksaan seharusnya tidak terpengaruhdengan berbagai tafsir yang berkembang terhadap eksekusi Susno, ia menegaskan eksekusi bisa dilakukan setelah kasasi yang diajukan Susno ditolak mahkamah Agung. Menurut Jimly, “tidak adanya perintah penahanan dalam amar putusan MA tidak mengurangi substansi putusan, jika sampai persoalan teknis dipermasalahan, Jaksa harus ingat betapa banyak mereka tak punya kekuasaan seperti Susno yang harus dihukum karena kesalahan titik koma.”
Mengacu pada argumantasi tersebut, walaupun tidak adanya kata penahanan, perintah Mahkamah Agung sudah menguatkan putusan sebelumnya, Jadi secara hukum , artinya sudah final dan putusan pengadilan sebelumnya sudah dikokohkan. Putusan MA sudah jelas menguatkan dan memperjelas hukuman Susno tetap mengacu apda putusan tingkat pertama yaitu Putusan Pengadilan Jakarta Selatan. Namun dia tetap beralasan putusan MA harusnya memerintahkan dirinya untuk ditahan.
Melihat Fenomena Eksekusi Susno Duadji dahulu memang memilukan dan menyakiti hati masyarakat, dimana Institusi yang berwenang melakukan eksekusi justru dihalangi oleh oknum Institusi sipil bersenjata yakni Polri, terlepas dari pertemuan Jaksa Agung RI Arief Basrif dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo di Mabes Polri, kami sulit menyebutkan oknum namun tetap terpaksa berargumentasi demikian sebab kita melihat sendiri akumulasi personil yang terkesan menghalangi eksekusi Jaksa.
Sejalan dengan kasus Brigadir J yang belum tuntas dan ngambang ini, Susno Duadji kembali tampil, langkah ini bagus dan harus diapresiasi namun mirisnya Netizen dewasa ini justru membela tindakan Susno di masa lalu tanpa tahu duduk perkara, Susno merupakan mantan narapidana Korupsi atau bisa disebut seorang Koruptor yang sudah bebas dari hukumannya, namun proses eksekusi yang ditolak susno di masa lalu harusnya menjadi pukulan berat bagi masyarakat Indonesia bahwa orang yang telah terbukti bersalah seperti Susno bisa menghindari hukuman dengan dalil-dalil teknis yang tidak sepatutnya. Kami menulis agar masyarakat tidak memberikan stigma kepada Komjen (purn) Susno , namun agar cerdas dalam memberikan komentar di media sosial agar tidak salah kaprah karena minimnya informasi.
Penulis : Jamal (Founder Padaku.id)
0 Komentar